Kamis, 10 November 2016

Dia Masku - Cerpen

Tidak ada manusia manapun yang tidak mempunyai angan-angan, karena hidup pasti memiliki tujuan dan dengan angan-angan tersebut manusia dapat meraih tujuannya untuk mencapai hidup di dunia ini. Bukan manusia namanya yang hanya cukup dengan apa yang dimiliki sebelumnya. Begitupun dengan Aku. Namaku Lita. Serakah, mungkin kata yang terlalu kejam buatku, tapi itulah kenyataannya. Aku yang dari tingkat Sekolah Dasar yang selalu menjadi bintang sekolah, kini di tingkat Sekolah Menengah Atas pun aku tidak kalah pamor saat masih di Sekolah Dasar. Aku tidak mudah mengalah, dan apa saja yang aku inginkan selalu aku dapatkan berkat kegigihanku.
Prestasi pun dapat aku pertahankan dengan baik, apalagi hal-hal kecil seperti laki-laki. Tapi malangnya, aku tidak pernah berpacaran. “Pacar? Buang-buang waktu saja. Kita harus membagi waktu kita dengan orang lain, apalagi konsekuensinya yang harus rela waktu dan hidup kita diatur-atur oleh orang lain” kataku tegas menjawab pertanyaan konyol dari sahabatku itu, Doni. Ya, walaupun aku tidak memiliki pacar tapi aku memiliki sahabat laki-laki. Jangan berpikir aku akan terjebak di Friend Zone dengan Doni. Doni masih berkerabat dengan keluargaku. Dari Taman Kanak-kanak aku selalu satu sekolah dengan Doni sampai Sekolah Menengah Atas.
“Mau dicarikan pacar gak sama aku?” Doni terbahak-bahak dan berhasil aku timpuk kepalanya dengan buku paket tebal yang sedang aku baca. Kami begitu dekat, tidak salah teman-teman yang belum tahu latar belakang kami, pasti mereka mengira kami pacaran. Lihat saja sangat serasi sekali jika kami disandingkan, yang satu cantik dan putih dengan rambut ikal dan tinggiku sebahu Doni. Sedangkan yang satunya lagi parasnya tampan dan badannya tinggi walaupun warna kulit tubuhnya tidak seputihku.
Aku termasuk orang yang pemilih, apapun itu. Tidak salah sampai saat ini laki-laki enggan mendekat kepadaku. Mungkin mereka tahu sifatku itu, karena pernah suatu hari ada seorang laki-laki yang berhasil aku permalukan karena dia berani menyatakan cintanya di depan umum. “Kamu itu terlalu angkuh Tata, coba deh ubah sifat jelekmu itu” Doni menasihatiku dan berhasil aku cuekin. Terlepas dari sifat-sifat jelekku, aku orangnya patuh pada orang tua. Aku selalu membantu Ibu  dan Ayah walaupun tidak diminta.
“Tata, tolong belikan Ibu obat sakit kepala di warung depan” suruh Ibuku, aku membalas dengan anggukan.
Aku selalu berangkat sekolah dengan Doni karena dia sudah diizinkan mengendarai motor oleh orang tuanya. Aku tidak perduli rutinitas itu merepotkan dia, “Hei, aku harus berbalik arah dulu jika berangkat sekolah hanya untuk menjemputmu. Seharusnya kamu memberiku minuman ketika jam istirahat!” Doni mengeluh, aku hanya tersenyum mendengar dia mengoceh karena aku tahu dia hanya sedang bercanda. Peringaiku di kelas cukup baik itu menurutku, aku selalu objektif untuk menilai apapun dan aku mengeluarkan pendapat secara transparan tanpa melihat itu akan menyakiti perasaan orang lain atau tidak, dan hasilnya aku mempunyai teman yang tidak suka terhadapku. Aku mengabaikan hal itu, tapi di tahun kedua saat aku bersekolah disana orang itu tetap saja masih membenciku.
Aku selalu menghabiskan jam kosong pelajaran di perpustakaan sekolah, tentu tidak bersama Doni. Aku pun masih punya waktu terbebas tanpa ada dia di dekatku. “Pak bisa nyalakan AC nya??” kataku. “Sorry, you must speak in english because today is English Day” kata Pak Toni yang kebetulan sedang giliran menjadi petugas perpus. Aku menghela nafas panjang, “Okay I will speak in english but you understand to what I say” aku membalasnya dengan muka sebal. Pak Toni tersenyum mendengar jawabanku, entah karena aku ketahuan kesal atau ejaan Bahasa Inggrisku yang tidak benar. Dia sebenarnya guru Bahasa Inggrisku, dia baru saja selesai menyelesaikan studi S1nya tahun lalu. Masih muda tentunya, tidak salah banyak siswa di sekolahku menyukai dia apalagi kakak kelas yang so cantik. Aku sih biasa-biasa aja menanggapi teman-temanku yang selalu berlebihan ketika membicarakan ketampanan Pak Toni.
Ketika aku terhanyut dalam buku yang aku baca, tidak sadar dari tadi ada seseorang yang sedang mencuri perhatianku. “Pak Toni! Apa yang sedang....” aku lupa dengan aturan sekolah hari ini. “I mean, what are you doing here?” aku mendadak gugup. Dia duduk di sebelahku. “Go on!” dia tersenyum lagi. “Sorry, but you are so annoying me” aku tidak sadar mengucapkan kalimat itu dengan refleks aku menutup mulutku. Dia tersenyum lagi dan meninggalkanku sendiri. “Oh Tuhan...bagaimana nilai Bahasa Inggrisku nantinya setelah sikapku tadi terhadap Pak Toni” aku sibuk mengutuk diriku dan tidak berselera lagi untuk melanjutkan membaca buku kesukaanku tentang anatomi tubuh.
Cuaca di Kota Yogyakarta hari ini sangat panas sekali, dua minuman dinginpun tidak cukup untuk melawan dahagaku. Aku memang lahir di kota ini tapi Ayahku bertahun-tahun menjalankan perusahaan asuransinya di Jakarta. Sangat susah sekali mendapatkan waktu bersama dengan Ayahku. Ibuku harus mengurusku seorang diri di rumah, aku tidak mempunyai kakak ataupun adik. Kadang jika ada waktu libur sekolah aku yang harus mengalah pergi menjumpai Ayah di Jakarta. Tapi Doni, dia selalu ikut kemanapun keluargaku pergi. Kadang itu membuatku kesal sih, tapi bagaimana lagi Ibuku sendiri yang mengundang dia untuk ikut.
Malam ini malam Minggu tapi baru kali ini aku merasa bosan terus menatap laptopku. Padahal waktuku hampir tersita habis bermain dengan laptopku, sampai-sampai aku harus memakai kacamata minus seperempat. “Tumben ini anak gak ngajak nongkrong ke luar” aku menggerutu sambil menatap layar handphoneku. “Bu, aku mau ke luar ya. Mau nonton film AADC 2” aku meyakinkan Ibu. “Sama Doni?” tanya Ibu. “Tidak Bu, aku mau nonton sama Siti” aku menjawabnya sambil tergesa-gesa. “Ouh anak tetangga sebelah” Ibuku terlihat lega.
Rutinitas Hari Senin di sekolah mulai nampak. Anak-anak  yang terburu-buru karena harus mengikuti upacara bendera pun terlihat dari gerbang sekolah yang perlahan-lahan mulai ditutup oleh Pak Satpam. Aku selalu menjadi grup paduan suara, tapi bukan untuk menyumbang suaraku. Aku adalah pianis sekolah ini. Tidak sia-sia belajar piano sejak masih di TK. Kalian pasti tidak percaya kalau sebenarnya aku Ketua OSIS. Aku tidak ingin menjadi STO yaitu kepanjangan dari Siswa Tanpa Organisasi. Setidaknya bakat berani berbicaraku tersalurkan disini, itu yang membuatku berani berkoar-koar di kelas, bukankah di negeri ini pangkat dapat berbicara walaupun mulut diam? Dan itu sekarang yang sedang aku rasakan.
“Waahh lihat Ibu Ketua OSIS kita, rajin sekali ke perpus. Bukan dalam rangka pencitraan, kan?” Doni mengolok-olokku lagi dan dia refleks melindungi kepalanya lagi. “Maaf kemarin malam aku ada acara mendadak” tambah Doni. “Gak tanya, dan gak kepo tuh” aku berpura-pura tidak kesal. Doni tahu sebenarnya kalau aku sedang sangat marah sama dia, dan dia berhasil membuatku tersenyum lagi dengan minuman yang aku suka. “Curang kamu, kamu kira dengan minuman ini masalah akan kelar” kataku sambil melirik sinis.
“Ini buku tugas kalian, ambil sendiri” kata Ketua Kelas sambil meletakkan tumpukkan buku di meja guru. “Mana buku tugas milikku?” aku mulai khawatir ketika sudah beberapa menit belum menemukannya. Tapi pencarianku berhenti ketika aku melihat bukuku sedang di baca oleh Siska. Dia yang terang-terangan sangat tidak meyukaiku. “Kembalikan! Itu milikku!” aku mengulurkan tanganku. “Seperti itu juga yang seharusnya kamu lakukan kepadaku” terlihat sekali muka sinisnya, tapi jauh lebih menakutkanku kalau aku sedang marah. Aku merebut buku yang sedang dia pegang. Aku tidak menghiraukan apa yang dia katakan, “Ngomong apa sih dia?” aku berupaya mengingat beberapa hal. “Hei cantik!” Doni mengagetkanku. “Itu dari tadi handphonemu bergetar” Doni melirik ke layar handphoneku mencari tahu. “Hei! Tidak sopan kamu” aku meneriakinya. Doni terkejut melihat reaksiku yang tidak biasanya. “Aneh, padahal aku biasa memeriksa handphonenya dan dia gak seperti ini” Doni menggerutu sendiri sedang aku sibuk membalas pesan-pesan yang berdatangan.
Aku mempunyai teman baru, seorang laki-laki. Dia kakak kelasku. “Siapa namanya? Katakan!” Doni mengancamku. “Ibu memang belum tahu karena kami memang hanya berteman. Just friend, okay!” aku mencoba meyakinkan teman rempongku itu. “Udah berapa minggu kenal sama dia?” Doni sangat penasaran. “Hei! Aku juga tahu kamu sedang dekat dengan perempuan lain. Aku biasa aja, gak kaya sikap kamu gini ke aku” aku gugup. “Hei! Jangan pindah topik!” Doni melototiku. Terkupas sudah semua asal usul aku bertemu dengan dia saat di perpustakaan sekolah. Dia sedang menjalani hukumannya karena terlambat 37 menit datang ke sekolah. Aku tak sengaja menabrak dia yang terhalang pandangannya oleh tumpukkan buku yang harus dia rapihkan. “Dia lebih ganteng dari pada kamu loh Don” tambahku. “Kalau kalian jadian harus kasih tahu aku ya!” Doni kesal dan meninggalkanku  ke luar kelas. “Dia pasti mau menemui kakak kelasnya” aku tersenyum melihat tingkahnya.
Waktu pun cepat berlalu, sekarang aku tinggal di kelas 12 IPA 1. Tentu saja prestasiku saat ujian semester kemarin sangat memuaskan dan sebagai hadiahnya tiket berlibur ke Jakarta. Berat sekali di saat-saat terakhir menempuh jenjang Sekolah Menengah Atas, jam tambahan di sore hari, harus mencari tempat bimbingan belajar, dan waktuku hampir dihabiskan dengan buku-buku. Doni masih sahabatku, tidak ada duanya. Dan aku salah, aku sudah lupa dengan kata-kataku sendiri yang buat apa mempunyai pacar, karena sekarang aku berpacaran dengan kakak kelas tempo hari itu yang sempat di cemburui oleh Doni. Namanya Dita. Beda tipis dengan namaku. Dia sekarang sedang menempuh pendidikan S1nya, masih di kota ini. Dia masuk Perguruan Tinggi Negeri yang terbagus di Yogya, gak salah pilih, kan? Itu yang membuat aku bangga memamerkan hubunganku kepada orang tuaku. Ayah dan Ibu menyetujui hubungan kami, dan Doni pun akhirnya bisa menerima dia. Padahal aku gak butuh-butuh amat persetujuan dari dia, tapi tetap saja dia kan sahabatku.
Hubungan kami berjalan dengan lancar, bahkan manisnya awal jadian pun masih terasa walaupun hubungan kami sudah berjalan 1 tahun lamanya. Katanya marahan antar pasangan itu bumbunya dalam hubungan. Awalnya kami sering keluar malam, mencoba menyinggahi satu persatu tempat angkringan yang berada di seputar Kota Sleman, dan itu membutuhkan usaha sangat keras. Aku harus bernegosiasi dulu dengan penjagaku, Ibu. Tapi aku merasa hubunganku akhir-akhir ini mulai hambar. Aku memang sibuk meyiapkan segala hal untuk menghadapi Ujian Nasional nanti, tapi dia tidak meluangkan waktu sedikitpun denganku, telponan sudang nggak sama sekali, padahal dulu hampir setiap hari. SMSan sudah mulai terhitung oleh jari, padahal dulu gratisan SMS ke luar operator sampai-sampai kurang dan menghabiskan sisa pulsa. Dia bersikukuh tidak mau ganti kartu yang seoperator denganku, saat itu dia sungguh sangat menyebalkan. Aku sempat curhat ke Doni, tapi dia sibuk dengan adik kelasnya. Dia mulai playboy, mentang-mentang paling keren di sekolah. Tidak mungkin kan aku harus berbagi cerita yang sepele ini kepada Ibu, jadi aku sempat berpikir untuk meminta ke salah satu reality show di sebuah acara televisi yang pada saat itu sedang booming banget. Tapi kuurungkan niatku itu, aku malu melakukan hal itu, yang ada nanti sakit kepala Ibu malah tambah parah.
Doni mulai menaruh perhatiannya lagi kepadaku, aku sempat membuang muka dan ingin sekali menimpuknya dengan buku, tapi kepada siapa lagi aku harus berbagi kisahku, jadi aku membalikkan badanku menghadap dia. “Udah ngambeknya Tata cantik?” matanya berkedip-kedip membuatku semakin kesal. Aku meminta bantuan dia untuk mencari tahu tentang Dita, dan ternyata benar pikiranku selama ini, pikiran buruk yang aku ingin buang jauh-jauh. Ketika aku sedang pulang dengan Siti dari tempat bimbingan belajarku, aku melihat Dita dengan seorang perempuan mengendarai motornya. Tidak jelas siapa perempuan itu, karena aku menyadarinya ketika sudah jauh dan aku tidak sempat mengingat wajah perempuan itu, aku fokus dengan Dita. “Itu benar Dita, kan?” Siti menyadarkanku dari lamunan. Aku tidak bisa berkata apa-apa, karena tadi perempuan itu memeluk erat Dita, apakah itu bisa disebut dengan hal yang wajar? Aku saja belum pernah memeluk sebegitu eratnya pada Doni. “Aku rasa aku harus menelpon Doni deh, boleh toh?” beberapa kali Siti bertanya dan gak aku jawab. Secepat kilat Doni menghampiriku dan Siti, aku masih lemas karena tak percaya kejadian barusan. Aku menyuruh Doni mengantar pulang Siti dan meminta izin kepada Ibuku untuk membawaku jalan-jalan sebentar, dan secara kebetulan sekali ketika aku sedang dihibur oleh Doni, Dita melewati kami yang sedang duduk di trotoar jalan, tentu saja masih dengan perempuan yang tadi.
Aku mengambil tindakan yang menurutku benar, aku dan Doni segera bergegas menaiki motornya. “Kita potong arah Don, kita akan mendapati mereka di lampu merah di depan” aku panik dan ide itu muncul dengan tiba-tiba. “Oke, baik Ta” Doni pun ikut panik, dan benar saja aku sampai duluan di lampu merah itu, aku menunggu dan saat tiba lampu merah yang menyala semua kendaraan dari arah yang kutunggu berhenti, terlihat di baris pertama jajaran motor aku melihat dengan jelas motor Dita. “Itu Dita tuh” Doni berteriak sambil menunjuk, untung saja dari jauh Dita tidak menyadari keberadaan kami. Lampu hijau sudah menyala, “Ayo kita ikuti dia, kalau perlu kita hadang motor dia” Doni sudah menyalakan motornya dan bersiap-siap akan mengoper gigi motornya. “Tidak! Jangan ikuti dia Don” suaraku terdengar lemah, Doni melirik ke arahku “Kau yakin mau membiarkan dia lolos begitu saja?” Doni memasang muka kesal melebihiku, “Kamu takut aku kalah berkelahi dengan dia? Aku senior Karate Club, jangan meragukan hal itu” Doni membujukku. “Kita pulang saja Doni, aku sudah tahu siapa perempuan yang bersama Dita tadi” aku menjawab dengan tatapan kosong. “Aku gak kepikiran mencari tahu siapa perempuan itu, yang aku rasa tanganku ini ingin melayang tepat di semua tubuh Si Brengsek itu” Doni meremas-remas jarinya penuh energi.
Ibuku mendapatiku pulang terlalu malam, dia menunggu dengan perasaan cemas di campur kesal. “Doni! Kamu bawa Lita kemana aja?” Ibu memukul bokong Doni dengan gagang sapu, Doni kesakitan dan kali ini tidak berani menjawab pertanyaan Ibuku. “Aku yang meminta dia untuk pergi ke alun-alun keraton Yogya Bu” pertama kali aku harus berbohong demi Dita. “Jauh banget mainnya. Ya udah mandi sana, dan kamu cepat pulang”.
“Baik pelajaran hari ini cukup sekian” Guru menutup pelajaran hari itu, pelajaran yang aku sukai, biologi. Tapi dari pertama Bu Kinar menyampaikan materi pelajarannya aku tidak fokus, pikiranku entah dimana, aku terus saja teringat sosok perempuan itu. “Dia begitu menggangguku, sampai-sampai aku mengabaikan pelajaran kesukaanku” aku bergelut dengan pikiranku sendiri. “Bagaimana kejadian kemarin?” Siti menepuk pundakku dari arah belakang. “Aku harus melakukan sesuatu” jawabanku tidak sesuai dengan apa yang Siti ingin dengar, aku tidak perduli itu. Aku masih punya tahtaku di sekolah ini, aku masih bisa berjalan dengan kepala tegak dan aku sampai di samping meja temanku, Siska. Perempuan yang paling terang-terangan tidak menyukaiku, masih ingat? Aku berusaha berbicara biasa saja, aku bisa mengendalikan emosiku sesulit apapun situasinya. “Apa?” Siska langsung menatapku penuh dengan kebencian, aku merasa terganggu karena sebelumnya aku penasaran kenapa dia membenciku. “Sebenarnya aku gak suka berbelit-belit, tapi aku ingat kata-katamu tempo hari. Apa yang harus aku kembalikan yang seharusnya menjadi milikmu?” aku mencoba mengendalikan situasi perasaanku dan perbincangan kecil ini berhasil mencuri perhatian teman-teman di kelas. Doni yang hendak ke luar pun berbalik arah dan pandangannya tertuju kepadaku dan Siska.
Siska tersenyum tipis dan sebenarnya terlihat seperti tersenyum licik karena dia telah memenangkan sesuatu. “Aku rasa kamu gak membutuhkan jawaban dariku, toh kamu sudah punya jawabannya sendiri, kan?” Siska mulai berdiri bertanda dia juga tidak mau kalah kuatnya dariku. Aku berdiam dan menatap tajam Siska, “Hei! Kamu pikir kamu bisa mendapatkan segalanya? Itu salah” Siska maju satu langkah ke arahku. “Jawab saja untuk meyakinkan jawabanku, apa hubungan kamu dengan dia?” tentu saja aku tidak akan tinggal diam mendengar ocehan perempuan sialan itu. “Aku tidak selingkuh dengan dia kok” dia menjawabnya dengan datar membuatku ingin sekali memukulnya, “Simple aja kok jawaban yang aku butuhkan, kamu gak sadar pembicaraan kita di dengar oleh yang lain?” aku benar-benar kesal sekarang. Dia tersenyum bangga, ya ampun sebenarnya apa yang dia mau sampai-sampai membuat gigi-gigiku saling beradu. “Pasti Litaku ini tidak sabar menunggu jawabanku” berputar mengelilingiku sambil memainkan anak rambutku, aku mengibaskan tangannya yang berani-beraninya menyentuh rambutku. “Dia mantanku” Siska berbisik dan meninggalkanku berdiri sendiri seperti orang yang begitu saja menerima kekalahannya.
Doni yang mendengar percakapanku langsung menyeret tubuh lemasku ke tempat yang tidak bising, perpustakaan. Aku menjadi begitu benci menginjakkan kakiku di perpustakaan sekolah ini, yang tadinya tempat andalanku untuk menyepi. “Apa kamu sudah kehilangan akal?” Doni membentakku dan membuat Pak Toni menatap ke arah kami. “Aku sekarang tahu maksudmu siapa perempuan kemarin yang bersama... Oh My God aku sangat membenci menyebut nama pacar kamu itu” Doni mengusap mukanya. “Okay, dulu kamu memulai semuanya dari sini, dan berjanjilah di tempat ini juga kamu harus mengakhiri semuanya, semua hubungan kamu dengan Si Brengsek itu. Putusin dia, gampang kan? Jangan membuat hal yang mudah menjadi sulit Ta, kita harus fokus sama UN kita nanti” Doni menceramahiku panjang lebar sampai-sampai aku tidak bisa mengingat semua yang dia katakan dan yang dia suruh. “Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan saat ini Don, kamu dengan mudah menyuruhku mutusin dia, aku masih punya akal, dan aku tidak terima dengan perlakuan Dita terhadapku ini. Lihat saja apa yang akan aku lakukan nanti” Doni bingung tidak mengerti apa yang aku maksud.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan meninggalkan Doni, aku berhenti tepat di depan Pak Toni yang sedang sibuk membaca surat kabarnya. “Hallo, Mister!” aku berhasil membuat Pak Toni melipat surat kabarnya. Terlihat Doni mengusap mukanya, menandakan dia bingung memikirkan ulah apalagi yang akan aku lakukan. “Sekarang bukan English Day!” aku menatapnya dengan kesal dan dia membalasnya dengan tersenyum. “Pak, nanti malam Bapak akan menjemputku ke rumah?” aku tersenyum manis, amat manis. “Oh My God Lita, apa yang kamu rencanakan sekarang?” Doni mengutukku dari jauh. Untungnya Pak Toni menjawab sesuai harapanku. “Kamu mau ngegebet Pak Toni?” Doni menimpuk kepalaku dengan buku. “Apa yang aku tidak tahu tentang kalian? Jangan bilang kalian dekat?” Doni memulai mengintograsiku, “Dia sering berkomunikasi denganku lewat SMS, untuk membantuku dengan persoalan di sekolah, tapi aku tahu dia sebenarnya menyukaiku” Doni tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku. “Hei! Kamu baru saja di sakitin sama pacar kamu sendiri, sekarang kamu mau mendaftar untu jadi korban Pak Toni?” Doni meninju bahuku dan aku membalasnya dengan tersenyum. Doni baru terpikirkan apa yang dari tadi aku pikirkan, “Jangan bilang kamu akan memanfaatkan Pak Toni untuk membalas dendam Si Dita? Aku sarankan buang jauh-jauh rencanamu itu, aku tidak akan membantu kamu kalau kamu nanti terkena masalah. Nilai Bahasa Inggrisku sudah cukup buruk aku tidak akan menambah buruk nilaiku hanya karena terlibat denganmu!” Doni menggeleng-gelengkan kepala dan mengacak-acak rambutku.
Akhirnya malam hari pun tiba, aku berdandan rapih dan membuat Ibu keheranan. “Mau kemana lagi anak Ibu? Gak belajar toh?” Ibu berusaha mencari tahu dengan gaya bahasa yang halus, “Mau ada guru Tata, Bu” aku tersenyum sumringah. Ibu membalas tersenyum, aku tahu senyum itu bertanda senyum lega. Tepat pukul 8.00 WIB malam Pak Toni datang ke rumahku, dia pandai sekali mencuri perhatian Ibu dan membuat Ibu tidak berkata ‘tidak’ saat Pak Toni meminta izin untuk mengajakku pergi ke luar. Aku di jemput dengan mobil sedan silvernya, ini baru pertama kali aku menaiki mobil seorang guru, dan kalau teman di sekolah tahu aku sedang dengan Pak Toni, aku tidak tahu reaksi apa yang akan mereka berikan kepadaku. “Pak, aku boleh foto selfie dengan Bapak gak?” aku merayunya dengan memasang muka imutku. Butuh waktu sangat lama untuk membujuknya, tapi akhirnya dia bersedia juga aku ajak foto selfie, walaupun dia sedang fokus menyetir dan tidak senyum sedikit pun. “Pelit banget sih senyum sedikit aja” aku menyimpan foto dua kali jepretan itu.
Sampailah sudah di tempat yang Pak Toni tuju, aku sih belum pernah ke tempat ini dan ternyata Pak Toni bisa juga memilih tempat yang romantis, padahal kan caffe biasa juga tidak apa-apa. “Pak, gak salah pilih tempat, kan? Nanti dikira orang kita pacaran loh” aku meninju bahunya. Pak Toni melirikku sinis karena aku mungkin so akrab, tapi setelah itu dia langsung tersenyum lagi. Dia memang bisa membuatku jantungan, awas saja kalau berpengaruh terhadap nilaiku. “Kamu tidak apa-apa?” Pak Toni bertanya, “Apanya yang tidak apa-apa, Pak?” aku memutarkan bola mataku. “Hubungan kamu dengan Dita?” dia membalas datar, sontak membuatku bingung dan banyak sekali pertanyaan yang aku ingin tanyakan kepada dia, “Bapak lihat kamu kenalan dengan dia waktu di perpus, dan setelah kejadian itu kalian memperlihatkan tingkah aneh kalian di sekolah kalau berpapasan” Pak Toni menjawab semua pertanyaan yang belum aku sampaikan. Aku berterus terang saja tentang masalah yang aku hadapi sekarang ini, dan dia cukup menghiburku. Tidak tidak, aku tarik kata cukupnya karena sebenarnya sangat menghiburku. Kami memutuskan untuk pergi berjalan-jalan di sekitar tempat yang kami singgahi tadi, dan kejadian yang aku tidak harapkan terjadi. Dita menelponku, menanyakan dimana keberadaanku, dia sempat ke rumah sebelum menelponku. Dan butuh waktu 20 menit dia dengan cepat mendatangiku, “Apa ini? Kok kamu bisa jalan dengan Pak toni?” Dita langsung meluapkan kekesalannya, Pak Toni hanya bisa diam karena aku melarangnya untuk tidak ikut campur.
Karena Pak Toni tidak tahan melihat aku di pojokkan oleh Dita, akhirnya dia angkat suara. Mana mungkin dia tidak ikut campur sedangkan dia memang sekarang sudah ada dalam cerita aku dan Dita. “Bapak mau mengelak kalau Bapak tidak ada hubungan apa-apa dengan Lita?” Dita tidak sadar dengan siapa dia bicara. “Tolong jangan salahkan Mas Toni” aku mengalihkan kekesalan Dita. “Kamu gak tahu, kemarin aku membuntuti kamu sedang jalan dengan Siska, mantan kamu. Dan kamu balikan lagi dengan dia ketika kamu masih menjadi pacarku? Kamu tidak gila, kan? Kamu sudah menutupi hal ini 4 bulan lamanya? Aku tahu semuanya. Jadi apa yang sekarang aku lakukan ini salah di mata kamu? Kamu tidak terima? Sedangkan aku dengan Mas Toni hanya jalan saja tidak ada hubungan spesial antara kami. Lalu apa yang kamu perbuat selama 4 bulan terakhir ini akan aku maafkan dengan mudah?” aku tidak butuh jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku dan aku langsung menyeret tangan Pak Toni pergi meninggalkan Dita.
“Kalau ini mobilku, aku mungkin membanting pintunya. Untung saja ini mobil Bapak” aku mencoba mencairkan suasana, “Tapi..” Pak Toni berhenti bicara dan membalikkan tubuhnya ke arahku. “Kamu tadi yakin memanggilku ‘Mas’? dan sekarang kembali lagi ‘Bapak’ keterlaluan sekali kamu, membuat orang merasakan terbang tinggi dan jatuh tersungkur sekaligus” Pak Toni memangkasnya dengan tersenyum heran. Oh My God, apakah aku melakukan itu? Mampus deh bagaimana nasibku sekarang ini, apakah Pak Toni akan mengantarku pulang ke rumah dengan selamat? Atau akan menurunkanku sekarang juga? Aku benar-benar mengutuk diriku sekarang. “Woles aja kali, Mas gak keberatan kok” Pak Toni tersenyum merayuku yang sebenarnya dia sedang mengejekku. “Kamu besok harus sekolah ya! Besok kan ada pelajaran Mas di jam terakhir”. Tuh kan sudah jatuh ketiban tangga pula, Ibu tolong anakmu ini.
“Makasih Nak Toni sudah mengantar pulang anak Ibu dengan selamat” Ibu sangat bahagia sekali terlihat dari raut mukanya. Aku yang sibuk memikirkan nasibku besok menerka-nerka apa yang akan terjadi besok. “Hei! Ini benar-benar akan jadi trending topic di sekolah. Apa aku yang harus menyebarkan gosip ini?” Doni mengejutkanku, dia dari tadi berada di ruang keluarga dan aku melewatinya karena tidak menyadari keberadaannya. Dia terus bertanya banyak hal sampai mengikutiku masuk ke dalam kamar, “Hei! Ini sudah malam. Cepat sana pergi! Pulang!” aku tidak tahan mendengar ocehan dia. “Doni akan menginap satu malam disini. Ibu sudah suruh dia untuk tidur di kamar tamu. Sekarang cepat pergi tidur, jangan ganggu terus adikmu Doni!” Ibuku refleks membungkam mulutnya. Kami berdua langsung menatap Ibu, dan tentu saja Doni yang lebih banyak bertanya. “Kalian sebenarnya kembar. Doni adalah kakak kembarmu Lita. Sekarang terjawab sudah, kan? Kenapa Ibu tidak bisa menjauhkan kalian, dan kamu Lita, kamu sempat bingung kenapa Ibu terus saja mengajak Doni kalau pergi ke Jakarta, kan? Ibu rasa ini memang waktunya kalian mengetahui kebenarannya, kalian sudah beranjak dewasa” Ibu meninggalkan kami yang masih belum bisa mempercayai hal ini.
Aku teringat masa-masa kecil kami dulu. Pantas saja, kalau aku sakit pasti Doni juga ikut sakit. “Ibu sedang lagi gak bercanda, kan?” aku bertanya kepada Doni, “Entah apa yang kurasakan ini, aku mengetahui kalau aku punya kembaran tapi aku biasa aja. Mungkin karena kita selalu berdekatan” Doni tidak menjawab pertanyaanku, “Apakah aku harus mengumumkan hal ini di sekolah, Adikku?” Doni tersenyum mendekapku, dia memang sangat aneh. Bukannya langsung menangis merangkul Ibu seperti di acara sinetron, ini malah mengejekku, apakah benar dia kembaranku? Sangat aneh sekali. Tapi ternyata Doni, yang sekarang resmi menjadi kembaranku tidur bersama Ibu, dia ternyata punya sisi baiknya juga. Aku tersenyum dan pelan-pelan menutup pintu kamar Ibu.
Kami bertiga sarapan bersama sebagai seorang keluarga, benar-benar keluarga. Tapi ini bukan pertama kalinya, Doni sering meminta sarapan ke rumah kami kalau Hari Minggu. “Oh iya Adikku, kamu itu kan memang tipe yang pemilih, terus pilihan kamu kali ini apakah Pak Toni benar-benar pilihanmu?” pertanyaan yang sempat ditunda oleh Doni akhirnya terlontarkan sekarang. “Sekarang kita lagi di jalan, fokus saja bawa motornya. Kamu gak mau kan adikmu ini terluka karena kesalahanmu?” aku menepuk pundak Doni. Dia begitu menikmati memanggilku ‘Adik’ sedangkan aku belum terbiasa memanggilnya dengan sebutan Kakak, lidahku terasa keluh. Maafkan aku ya Doni. Kali ini aku memeluk tubuhnsebutan Kakak, lidahku terasa keluh. Maafkan aku ya Doni. Kali ini aku memeluk tubuhnya. Sebenarnya aku menjadi pemilih seperti itu karena Ibuku. Aku tidak mencari pasangan yang cocok dengan diriku sendiri, tapi aku menjadi begitu pemilih karena aku mencari calon menantu buat Ibu, calon menantu yang akan membuat hati Ibu senang. Walaupun belum tentu hubunganku bisa berhasil sampai jenjang pernikahan, tapi setidaknya aku berusaha yang terbaik untuk Ibuku.
“Kalian mesra sekali? Pake peluk-peluk segala toh” Siti bertanya heran melihat Doni memperlakukanku siang itu di kelas. “Kamu gak tahu ya?” Doni mencoba untuk membuat Siti penasaran, “Aku gak kepo, maaf ya usaha kamu gagal!” Siti memukul pundak Doni dan menyeretku ke luar kelas, tidak sengaja aku berpapasan di pintu dengan Siska. “Kamu sudah putusin dia?” Siska tersenyum tipis, “Sudah! Itu yang kamu harapkan, kan? Aku tidak bisa hidup bersama orang-orang yang munafik seperti kamu” aku berhasil membuat dia kesal, siapa suruh melawan aku. Sejak saat itu, aku benar-benar muak kalau melihat dia. “Lita! Kamu di panggil oleh Pak Toni ke mejanya” kata Ketua Kelasku. Sekarang tinggal satu lagi masalah, yaitu Pak Toni.
“Lama sekali kamu datang ke sini, dan apakah perlu diantar oleh Doni?” kata Pak Toni, “Pak, tunggu dulu. Mungkin karena Bapak termasuk orang yang masuk dalam kehidupan kami...” Doni sengaja berhenti bicara, “Kehidupan kami? Maksud kalian apa?” Pak Toni terlihat heran. Aku menyikut perut Doni, “Kami kembar, Pak” aku tidak sabar dengan pembicaraan mereka. “Bapak jangan canggung ya sama saya” Doni tersenyum dan meninggalkan kami berdua di ruang guru, guru lain sedang mengajar semua.
Aku langsung bertanya kenapa aku di panggil ke mejanya, tapi dia malah berputar-putar membicarakan hal yang tidak jelas, “Pak, langsung saja. Aku tidak bisa berlama-lama di sini” aku memperlihatkan wajah kesalku. “Cuma kamu yang bisa terang-terangan memperlihatkan wajah kesal itu, Mas suka” dia menutupnya dengan tersenyum. “Dia tadi memanggil dirinya untukku dengan ‘Mas’? tidak mungkin sandiwara tadi malam berlanjut seperti ini. Untung saja dia tidak bisa masuk ke kelas, dan sebagai hukumannya aku harus mengumumkan tugas ini” aku sibuk berbicara sendiri. Tapi, aku sangat suka melihat dia tersenyum.
Seperti biasa Doni mengantarku pulang, dia masih harus tinggal bersama Ibu angkatnya. Baguslah aku tidak harus mendengar dia mengoceh sepanjang waktu di kamarku. Itulah aku, Aku memang sangat kejam. Ibu menceritakan semuanya perihal Doni yang harus diasuh oleh saudara Ibu, aku dulu saat baru lahir tidak bisa hidup normal seperti Doni, aku tidak mengeluarkan tangisan pertamaku, dan kata nenekku kami harus dipisahkan. Makanya Doni di rawat oleh saudara Ibu.
Terdengar ada yang mengetuk pintu rumah dari luar, “Ibu buka pintu dulu ya” Ibu bergegas. “Nak Toni?” Ibu terkejut. Aku yang mendengar nama itu langsung berlari ke arah pintu dan ternyata benar, Pak Toni mengunjungi rumahku lagi. Tanpa basa-basi aku bertanya maksud kedatangannya, dan pembicaraan ini sangat pribadi. “Ibu bisa tinggalkan kami sebentar? mungkin dia canggung karena ada Ibu disini” aku berbisik kepada Ibu, dan benar saja Pak Toni langsung berbicara tanpa gugup seperti tadi. “Mas tahu semuanya dari Doni, dia memberi tahu Mas kalau kamu menyukai Mas sejak Mas menegurmu untuk berbicara dalam Bahasa Inggris di perpus”. Doni benar-benar sangat menjengkelkanku, aku tidak yakin dia kembaranku sekarang, berani-beraninya dia memberi tahu rahasia itu.
“Kamu anak pintar, dan pasti kamu juga tahu kalau Mas juga menyukaimu selama ini. Benar, kan?”. Iya memang benar feeling aku tidak pernah salah, dan aku bukan tipe cewek yang suka kegeeran seperti teman-teman sekolah yang lain. “Mas ingin kamu tetap memanggil ‘Mas’. Kalau kamu tidak berubah pikiran, Mas akan menjadikanmu sebagai pacar Mas”. Dia sekarang menjadi orang pertama yang membuatku speechless. Aku tersenyum dan menganggukan kepalaku, aku juga sangat menyukainya tapi aku terlalu malu untuk memperlihatkan perasaanku yang sebenarnya itu. “Tapi ingat! Kamu harus profesional kalau di sekolah, jangan panggil Mas!” dia membuatku tersenyum lagi. “Siapa juga yang berani memanggil Mas di sekolah dengan sebutan ‘Mas’ itu” aku mengejeknya. Ternyata Ibu mendengar pembicaraan kami, dan tentu saja ibu merestui hubungan kami. Sekarang guru itu menjadi seseorang dalam hidupku, dan aku bangga mengenalkan kepada teman yang lain bahwa dia adalah Masku.


~ Tamat ~

Minggu, 25 September 2016

Chord guitar Baby, I Love You - Tiffany Alvord



[Intro] Am,F,C,G


[Verse]

Am               F                      C         G
There are three words, that I've been dying to say to you
Am               F          C         G
Burns in my heart, like a fire that ain't goin' out
Am                F         C           G             F
There are three words, & I want you to know they are true...
    C              G
I need to let you know


[Chorus]

C                     G
I wanna say I love you, I wanna hold you tight
Am                            F
I want your arms around me & I, want your lips on mine
C                        G                    
I wanna say I love you, but, babe I'm terrified
Am                                  F
My hands are shaking, my heart is raising
                               G                            Am
Cause it's something I can't hide, it's something I can't deny
           G
So here I go...

Baby I lo-o-o-ve you...... Am F C G


[Verse]

Am          F                      C        G
I've never said, these words to anyone, anyone at all
Am               F                   C        G             
Never got this close, cause I was always afraid I would falll
Am            F             C          G         F
But now i know, that I'll fall right into your arms...
C                  G
Don't ever let me go


[Chorus]

C                        G                   
I wanna say I love you, I wanna hold you tight
Am                            F
I want your arms around me & I, want your lips on mine
C                        G                     
I wanna say I love you, but, babe I'm terrified
Am                                  F
My hands are shaking, my heart is raisin'
                              G                            Am
Cause it's something I can't hide, it's something I can't deny
           G
So here I go...
                  
Baby I lo-o-o-ve you


[Bridge]

Am             F          
Take it in, breathe the air
C                         G
What is there to really fear?
Am                      F
I can't contain, what my heart's sayin'
     G
I gotta say it out loud...


[Chorus]

C                            G
I wanna say I love you, I wanna hold you tight
Am                            F 
I wa
nt your arms around me & I, want your lips on mine
C                        G         
I wanna say I love you, but, babe I'm terrified
Am                                   F
My hands are shaking, my heart is raisin'
                               G                            Am
Cause it's something I can't hide, it's something I can't deny
           G
So here I go...
                    C
Baby I lo-o-o-o-ve you

Cara Lepas dari Krim Dokter/Klinik Kecantikan tanpa Breakout

Assalamualaikum Mimin udah lama nih gak nulis di blog. Kali ini mimin mau share tentang skincare mimin, khususnya pengalaman pribadi b...