Tidak ada
manusia manapun yang tidak mempunyai angan-angan, karena hidup pasti memiliki
tujuan dan dengan angan-angan tersebut manusia dapat meraih tujuannya untuk mencapai
hidup di dunia ini. Bukan manusia namanya yang hanya cukup dengan apa yang
dimiliki sebelumnya. Begitupun dengan Aku. Namaku Lita. Serakah, mungkin kata
yang terlalu kejam buatku, tapi itulah kenyataannya. Aku yang dari tingkat
Sekolah Dasar yang selalu menjadi bintang sekolah, kini di tingkat Sekolah
Menengah Atas pun aku tidak kalah pamor saat masih di Sekolah Dasar. Aku tidak
mudah mengalah, dan apa saja yang aku inginkan selalu aku dapatkan berkat
kegigihanku.
Prestasi pun
dapat aku pertahankan dengan baik, apalagi hal-hal kecil seperti laki-laki.
Tapi malangnya, aku tidak pernah berpacaran. “Pacar? Buang-buang waktu saja.
Kita harus membagi waktu kita dengan orang lain, apalagi konsekuensinya yang
harus rela waktu dan hidup kita diatur-atur oleh orang lain” kataku tegas
menjawab pertanyaan konyol dari sahabatku itu, Doni. Ya, walaupun aku tidak
memiliki pacar tapi aku memiliki sahabat laki-laki. Jangan berpikir aku akan
terjebak di Friend Zone dengan Doni.
Doni masih berkerabat dengan keluargaku. Dari Taman Kanak-kanak aku selalu satu
sekolah dengan Doni sampai Sekolah Menengah Atas.
“Mau dicarikan
pacar gak sama aku?” Doni terbahak-bahak dan berhasil aku timpuk kepalanya
dengan buku paket tebal yang sedang aku baca. Kami begitu dekat, tidak salah
teman-teman yang belum tahu latar belakang kami, pasti mereka mengira kami
pacaran. Lihat saja sangat serasi sekali jika kami disandingkan, yang satu
cantik dan putih dengan rambut ikal dan tinggiku sebahu Doni. Sedangkan yang
satunya lagi parasnya tampan dan badannya tinggi walaupun warna kulit tubuhnya
tidak seputihku.
Aku termasuk
orang yang pemilih, apapun itu. Tidak salah sampai saat ini laki-laki enggan
mendekat kepadaku. Mungkin mereka tahu sifatku itu, karena pernah suatu hari
ada seorang laki-laki yang berhasil aku permalukan karena dia berani menyatakan
cintanya di depan umum. “Kamu itu terlalu angkuh Tata, coba deh ubah sifat
jelekmu itu” Doni menasihatiku dan berhasil aku cuekin. Terlepas dari
sifat-sifat jelekku, aku orangnya patuh pada orang tua. Aku selalu membantu Ibu
dan Ayah walaupun tidak diminta.
“Tata, tolong
belikan Ibu obat sakit kepala di warung depan” suruh Ibuku, aku membalas dengan
anggukan.
Aku selalu
berangkat sekolah dengan Doni karena dia sudah diizinkan mengendarai motor oleh
orang tuanya. Aku tidak perduli rutinitas itu merepotkan dia, “Hei, aku harus
berbalik arah dulu jika berangkat sekolah hanya untuk menjemputmu. Seharusnya
kamu memberiku minuman ketika jam istirahat!” Doni mengeluh, aku hanya
tersenyum mendengar dia mengoceh karena aku tahu dia hanya sedang bercanda.
Peringaiku di kelas cukup baik itu menurutku, aku selalu objektif untuk menilai
apapun dan aku mengeluarkan pendapat secara transparan tanpa melihat itu akan
menyakiti perasaan orang lain atau tidak, dan hasilnya aku mempunyai teman yang
tidak suka terhadapku. Aku mengabaikan hal itu, tapi di tahun kedua saat aku
bersekolah disana orang itu tetap saja masih membenciku.
Aku selalu
menghabiskan jam kosong pelajaran di perpustakaan sekolah, tentu tidak bersama
Doni. Aku pun masih punya waktu terbebas tanpa ada dia di dekatku. “Pak bisa
nyalakan AC nya??” kataku. “Sorry, you
must speak in english because today is English Day” kata Pak Toni yang
kebetulan sedang giliran menjadi petugas perpus. Aku menghela nafas panjang, “Okay I will speak in english but you
understand to what I say” aku membalasnya dengan muka sebal. Pak Toni
tersenyum mendengar jawabanku, entah karena aku ketahuan kesal atau ejaan
Bahasa Inggrisku yang tidak benar. Dia sebenarnya guru Bahasa Inggrisku, dia
baru saja selesai menyelesaikan studi S1nya tahun lalu. Masih muda tentunya,
tidak salah banyak siswa di sekolahku menyukai dia apalagi kakak kelas yang so
cantik. Aku sih biasa-biasa aja menanggapi teman-temanku yang selalu berlebihan
ketika membicarakan ketampanan Pak Toni.
Ketika aku
terhanyut dalam buku yang aku baca, tidak sadar dari tadi ada seseorang yang
sedang mencuri perhatianku. “Pak Toni! Apa yang sedang....” aku lupa dengan
aturan sekolah hari ini. “I mean, what
are you doing here?” aku mendadak gugup. Dia duduk di sebelahku. “Go on!”
dia tersenyum lagi. “Sorry, but you are so annoying me” aku tidak sadar
mengucapkan kalimat itu dengan refleks
aku menutup mulutku. Dia tersenyum lagi dan meninggalkanku sendiri. “Oh
Tuhan...bagaimana nilai Bahasa Inggrisku nantinya setelah sikapku tadi terhadap
Pak Toni” aku sibuk mengutuk diriku dan tidak berselera lagi untuk melanjutkan
membaca buku kesukaanku tentang anatomi tubuh.
Cuaca di Kota Yogyakarta
hari ini sangat panas sekali, dua minuman dinginpun tidak cukup untuk melawan
dahagaku. Aku memang lahir di kota ini tapi Ayahku bertahun-tahun menjalankan
perusahaan asuransinya di Jakarta. Sangat susah sekali mendapatkan waktu
bersama dengan Ayahku. Ibuku harus mengurusku seorang diri di rumah, aku tidak
mempunyai kakak ataupun adik. Kadang jika ada waktu libur sekolah aku yang
harus mengalah pergi menjumpai Ayah di Jakarta. Tapi Doni, dia selalu ikut
kemanapun keluargaku pergi. Kadang itu membuatku kesal sih, tapi bagaimana lagi
Ibuku sendiri yang mengundang dia untuk ikut.
Malam ini
malam Minggu tapi baru kali ini aku merasa bosan terus menatap laptopku. Padahal
waktuku hampir tersita habis bermain dengan laptopku, sampai-sampai aku harus
memakai kacamata minus seperempat. “Tumben ini anak gak ngajak nongkrong ke
luar” aku menggerutu sambil menatap layar handphoneku. “Bu, aku mau ke luar ya.
Mau nonton film AADC 2” aku meyakinkan Ibu. “Sama Doni?” tanya Ibu. “Tidak Bu,
aku mau nonton sama Siti” aku menjawabnya sambil tergesa-gesa. “Ouh anak
tetangga sebelah” Ibuku terlihat lega.
Rutinitas Hari
Senin di sekolah mulai nampak. Anak-anak
yang terburu-buru karena harus mengikuti upacara bendera pun terlihat
dari gerbang sekolah yang perlahan-lahan mulai ditutup oleh Pak Satpam. Aku
selalu menjadi grup paduan suara, tapi bukan untuk menyumbang suaraku. Aku
adalah pianis sekolah ini. Tidak sia-sia belajar piano sejak masih di TK.
Kalian pasti tidak percaya kalau sebenarnya aku Ketua OSIS. Aku tidak ingin
menjadi STO yaitu kepanjangan dari Siswa Tanpa Organisasi. Setidaknya bakat
berani berbicaraku tersalurkan disini, itu yang membuatku berani berkoar-koar
di kelas, bukankah di negeri ini pangkat dapat berbicara walaupun mulut diam?
Dan itu sekarang yang sedang aku rasakan.
“Waahh lihat
Ibu Ketua OSIS kita, rajin sekali ke perpus. Bukan dalam rangka pencitraan,
kan?” Doni mengolok-olokku lagi dan dia refleks melindungi kepalanya lagi. “Maaf
kemarin malam aku ada acara mendadak” tambah Doni. “Gak tanya, dan gak kepo
tuh” aku berpura-pura tidak kesal. Doni tahu sebenarnya kalau aku sedang sangat
marah sama dia, dan dia berhasil membuatku tersenyum lagi dengan minuman yang aku
suka. “Curang kamu, kamu kira dengan minuman ini masalah akan kelar” kataku
sambil melirik sinis.
“Ini buku
tugas kalian, ambil sendiri” kata Ketua Kelas sambil meletakkan tumpukkan buku
di meja guru. “Mana buku tugas milikku?” aku mulai khawatir ketika sudah
beberapa menit belum menemukannya. Tapi pencarianku berhenti ketika aku melihat
bukuku sedang di baca oleh Siska. Dia yang terang-terangan sangat tidak
meyukaiku. “Kembalikan! Itu milikku!” aku mengulurkan tanganku. “Seperti itu
juga yang seharusnya kamu lakukan kepadaku” terlihat sekali muka sinisnya, tapi
jauh lebih menakutkanku kalau aku sedang marah. Aku merebut buku yang sedang
dia pegang. Aku tidak menghiraukan apa yang dia katakan, “Ngomong apa sih dia?”
aku berupaya mengingat beberapa hal. “Hei cantik!” Doni mengagetkanku. “Itu
dari tadi handphonemu bergetar” Doni melirik ke layar handphoneku mencari tahu.
“Hei! Tidak sopan kamu” aku meneriakinya. Doni terkejut melihat reaksiku yang
tidak biasanya. “Aneh, padahal aku biasa memeriksa handphonenya dan dia gak
seperti ini” Doni menggerutu sendiri sedang aku sibuk membalas pesan-pesan yang
berdatangan.
Aku mempunyai
teman baru, seorang laki-laki. Dia kakak kelasku. “Siapa namanya? Katakan!”
Doni mengancamku. “Ibu memang belum tahu karena kami memang hanya berteman. Just friend, okay!” aku mencoba
meyakinkan teman rempongku itu. “Udah berapa minggu kenal sama dia?” Doni
sangat penasaran. “Hei! Aku juga tahu kamu sedang dekat dengan perempuan lain.
Aku biasa aja, gak kaya sikap kamu gini ke aku” aku gugup. “Hei! Jangan pindah
topik!” Doni melototiku. Terkupas sudah semua asal usul aku bertemu dengan dia
saat di perpustakaan sekolah. Dia sedang menjalani hukumannya karena terlambat
37 menit datang ke sekolah. Aku tak sengaja menabrak dia yang terhalang
pandangannya oleh tumpukkan buku yang harus dia rapihkan. “Dia lebih ganteng
dari pada kamu loh Don” tambahku. “Kalau kalian jadian harus kasih tahu aku
ya!” Doni kesal dan meninggalkanku ke
luar kelas. “Dia pasti mau menemui kakak kelasnya” aku tersenyum melihat
tingkahnya.
Waktu pun
cepat berlalu, sekarang aku tinggal di kelas 12 IPA 1. Tentu saja prestasiku
saat ujian semester kemarin sangat memuaskan dan sebagai hadiahnya tiket
berlibur ke Jakarta. Berat sekali di saat-saat terakhir menempuh jenjang Sekolah
Menengah Atas, jam tambahan di sore hari, harus mencari tempat bimbingan
belajar, dan waktuku hampir dihabiskan dengan buku-buku. Doni masih sahabatku,
tidak ada duanya. Dan aku salah, aku sudah lupa dengan kata-kataku sendiri yang
buat apa mempunyai pacar, karena sekarang aku berpacaran dengan kakak kelas
tempo hari itu yang sempat di cemburui oleh Doni. Namanya Dita. Beda tipis
dengan namaku. Dia sekarang sedang menempuh pendidikan S1nya, masih di kota ini.
Dia masuk Perguruan Tinggi Negeri yang terbagus di Yogya, gak salah pilih, kan?
Itu yang membuat aku bangga memamerkan hubunganku kepada orang tuaku. Ayah dan
Ibu menyetujui hubungan kami, dan Doni pun akhirnya bisa menerima dia. Padahal
aku gak butuh-butuh amat persetujuan dari dia, tapi tetap saja dia kan
sahabatku.
Hubungan kami
berjalan dengan lancar, bahkan manisnya awal jadian pun masih terasa walaupun
hubungan kami sudah berjalan 1 tahun lamanya. Katanya marahan antar pasangan
itu bumbunya dalam hubungan. Awalnya kami sering keluar malam, mencoba
menyinggahi satu persatu tempat angkringan yang berada di seputar Kota Sleman,
dan itu membutuhkan usaha sangat keras. Aku harus bernegosiasi dulu dengan
penjagaku, Ibu. Tapi aku merasa hubunganku akhir-akhir ini mulai hambar. Aku
memang sibuk meyiapkan segala hal untuk menghadapi Ujian Nasional nanti, tapi
dia tidak meluangkan waktu sedikitpun denganku, telponan sudang nggak sama
sekali, padahal dulu hampir setiap hari. SMSan sudah mulai terhitung oleh jari,
padahal dulu gratisan SMS ke luar operator sampai-sampai kurang dan
menghabiskan sisa pulsa. Dia bersikukuh tidak mau ganti kartu yang seoperator denganku,
saat itu dia sungguh sangat menyebalkan. Aku sempat curhat ke Doni, tapi dia
sibuk dengan adik kelasnya. Dia mulai playboy, mentang-mentang paling keren di
sekolah. Tidak mungkin kan aku harus berbagi cerita yang sepele ini kepada Ibu,
jadi aku sempat berpikir untuk meminta ke salah satu reality show di sebuah acara televisi yang pada saat itu sedang booming banget. Tapi kuurungkan niatku
itu, aku malu melakukan hal itu, yang ada nanti sakit kepala Ibu malah tambah
parah.
Doni mulai
menaruh perhatiannya lagi kepadaku, aku sempat membuang muka dan ingin sekali
menimpuknya dengan buku, tapi kepada siapa lagi aku harus berbagi kisahku, jadi
aku membalikkan badanku menghadap dia. “Udah ngambeknya Tata cantik?” matanya
berkedip-kedip membuatku semakin kesal. Aku meminta bantuan dia untuk mencari
tahu tentang Dita, dan ternyata benar pikiranku selama ini, pikiran buruk yang
aku ingin buang jauh-jauh. Ketika aku sedang pulang dengan Siti dari tempat
bimbingan belajarku, aku melihat Dita dengan seorang perempuan mengendarai
motornya. Tidak jelas siapa perempuan itu, karena aku menyadarinya ketika sudah
jauh dan aku tidak sempat mengingat wajah perempuan itu, aku fokus dengan Dita.
“Itu benar Dita, kan?” Siti menyadarkanku dari lamunan. Aku tidak bisa berkata
apa-apa, karena tadi perempuan itu memeluk erat Dita, apakah itu bisa disebut
dengan hal yang wajar? Aku saja belum pernah memeluk sebegitu eratnya pada
Doni. “Aku rasa aku harus menelpon Doni deh, boleh toh?” beberapa kali Siti
bertanya dan gak aku jawab. Secepat kilat Doni menghampiriku dan Siti, aku
masih lemas karena tak percaya kejadian barusan. Aku menyuruh Doni mengantar
pulang Siti dan meminta izin kepada Ibuku untuk membawaku jalan-jalan sebentar,
dan secara kebetulan sekali ketika aku sedang dihibur oleh Doni, Dita melewati
kami yang sedang duduk di trotoar jalan, tentu saja masih dengan perempuan yang
tadi.
Aku mengambil
tindakan yang menurutku benar, aku dan Doni segera bergegas menaiki motornya.
“Kita potong arah Don, kita akan mendapati mereka di lampu merah di depan” aku
panik dan ide itu muncul dengan tiba-tiba. “Oke, baik Ta” Doni pun ikut panik,
dan benar saja aku sampai duluan di lampu merah itu, aku menunggu dan saat tiba
lampu merah yang menyala semua kendaraan dari arah yang kutunggu berhenti,
terlihat di baris pertama jajaran motor aku melihat dengan jelas motor Dita.
“Itu Dita tuh” Doni berteriak sambil menunjuk, untung saja dari jauh Dita tidak
menyadari keberadaan kami. Lampu hijau sudah menyala, “Ayo kita ikuti dia,
kalau perlu kita hadang motor dia” Doni sudah menyalakan motornya dan
bersiap-siap akan mengoper gigi motornya. “Tidak! Jangan ikuti dia Don” suaraku
terdengar lemah, Doni melirik ke arahku “Kau yakin mau membiarkan dia lolos
begitu saja?” Doni memasang muka kesal melebihiku, “Kamu takut aku kalah
berkelahi dengan dia? Aku senior Karate Club, jangan meragukan hal itu” Doni
membujukku. “Kita pulang saja Doni, aku sudah tahu siapa perempuan yang bersama
Dita tadi” aku menjawab dengan tatapan kosong. “Aku gak kepikiran mencari tahu
siapa perempuan itu, yang aku rasa tanganku ini ingin melayang tepat di semua
tubuh Si Brengsek itu” Doni meremas-remas jarinya penuh energi.
Ibuku
mendapatiku pulang terlalu malam, dia menunggu dengan perasaan cemas di campur
kesal. “Doni! Kamu bawa Lita kemana aja?” Ibu memukul bokong Doni dengan gagang
sapu, Doni kesakitan dan kali ini tidak berani menjawab pertanyaan Ibuku. “Aku
yang meminta dia untuk pergi ke alun-alun keraton Yogya Bu” pertama kali aku
harus berbohong demi Dita. “Jauh banget mainnya. Ya udah mandi sana, dan kamu
cepat pulang”.
“Baik
pelajaran hari ini cukup sekian” Guru menutup pelajaran hari itu, pelajaran
yang aku sukai, biologi. Tapi dari pertama Bu Kinar menyampaikan materi
pelajarannya aku tidak fokus, pikiranku entah dimana, aku terus saja teringat
sosok perempuan itu. “Dia begitu menggangguku, sampai-sampai aku mengabaikan
pelajaran kesukaanku” aku bergelut dengan pikiranku sendiri. “Bagaimana
kejadian kemarin?” Siti menepuk pundakku dari arah belakang. “Aku harus
melakukan sesuatu” jawabanku tidak sesuai dengan apa yang Siti ingin dengar,
aku tidak perduli itu. Aku masih punya tahtaku di sekolah ini, aku masih bisa
berjalan dengan kepala tegak dan aku sampai di samping meja temanku, Siska.
Perempuan yang paling terang-terangan tidak menyukaiku, masih ingat? Aku
berusaha berbicara biasa saja, aku bisa mengendalikan emosiku sesulit apapun
situasinya. “Apa?” Siska langsung menatapku penuh dengan kebencian, aku merasa
terganggu karena sebelumnya aku penasaran kenapa dia membenciku. “Sebenarnya
aku gak suka berbelit-belit, tapi aku ingat kata-katamu tempo hari. Apa yang
harus aku kembalikan yang seharusnya menjadi milikmu?” aku mencoba
mengendalikan situasi perasaanku dan perbincangan kecil ini berhasil mencuri
perhatian teman-teman di kelas. Doni yang hendak ke luar pun berbalik arah dan
pandangannya tertuju kepadaku dan Siska.
Siska
tersenyum tipis dan sebenarnya terlihat seperti tersenyum licik karena dia
telah memenangkan sesuatu. “Aku rasa kamu gak membutuhkan jawaban dariku, toh
kamu sudah punya jawabannya sendiri, kan?” Siska mulai berdiri bertanda dia
juga tidak mau kalah kuatnya dariku. Aku berdiam dan menatap tajam Siska, “Hei!
Kamu pikir kamu bisa mendapatkan segalanya? Itu salah” Siska maju satu langkah
ke arahku. “Jawab saja untuk meyakinkan jawabanku, apa hubungan kamu dengan
dia?” tentu saja aku tidak akan tinggal diam mendengar ocehan perempuan sialan
itu. “Aku tidak selingkuh dengan dia kok” dia menjawabnya dengan datar
membuatku ingin sekali memukulnya, “Simple
aja kok jawaban yang aku butuhkan, kamu gak sadar pembicaraan kita di dengar
oleh yang lain?” aku benar-benar kesal sekarang. Dia tersenyum bangga, ya ampun
sebenarnya apa yang dia mau sampai-sampai membuat gigi-gigiku saling beradu.
“Pasti Litaku ini tidak sabar menunggu jawabanku” berputar mengelilingiku
sambil memainkan anak rambutku, aku mengibaskan tangannya yang berani-beraninya
menyentuh rambutku. “Dia mantanku” Siska berbisik dan meninggalkanku berdiri
sendiri seperti orang yang begitu saja menerima kekalahannya.
Doni yang
mendengar percakapanku langsung menyeret tubuh lemasku ke tempat yang tidak
bising, perpustakaan. Aku menjadi begitu benci menginjakkan kakiku di
perpustakaan sekolah ini, yang tadinya tempat andalanku untuk menyepi. “Apa
kamu sudah kehilangan akal?” Doni membentakku dan membuat Pak Toni menatap ke
arah kami. “Aku sekarang tahu maksudmu siapa perempuan kemarin yang bersama... Oh My God aku sangat membenci menyebut
nama pacar kamu itu” Doni mengusap mukanya. “Okay, dulu kamu memulai semuanya
dari sini, dan berjanjilah di tempat ini juga kamu harus mengakhiri semuanya,
semua hubungan kamu dengan Si Brengsek itu. Putusin dia, gampang kan? Jangan
membuat hal yang mudah menjadi sulit Ta, kita harus fokus sama UN kita nanti”
Doni menceramahiku panjang lebar sampai-sampai aku tidak bisa mengingat semua
yang dia katakan dan yang dia suruh. “Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan
saat ini Don, kamu dengan mudah menyuruhku mutusin dia, aku masih punya akal,
dan aku tidak terima dengan perlakuan Dita terhadapku ini. Lihat saja apa yang
akan aku lakukan nanti” Doni bingung tidak mengerti apa yang aku maksud.
Aku beranjak
dari tempat dudukku dan meninggalkan Doni, aku berhenti tepat di depan Pak Toni
yang sedang sibuk membaca surat kabarnya. “Hallo,
Mister!” aku berhasil membuat Pak Toni melipat surat kabarnya. Terlihat
Doni mengusap mukanya, menandakan dia bingung memikirkan ulah apalagi yang akan
aku lakukan. “Sekarang bukan English Day!”
aku menatapnya dengan kesal dan dia membalasnya dengan tersenyum. “Pak, nanti
malam Bapak akan menjemputku ke rumah?” aku tersenyum manis, amat manis. “Oh My God Lita, apa yang kamu rencanakan
sekarang?” Doni mengutukku dari jauh. Untungnya Pak Toni menjawab sesuai
harapanku. “Kamu mau ngegebet Pak Toni?” Doni menimpuk kepalaku dengan buku.
“Apa yang aku tidak tahu tentang kalian? Jangan bilang kalian dekat?” Doni
memulai mengintograsiku, “Dia sering berkomunikasi denganku lewat SMS, untuk
membantuku dengan persoalan di sekolah, tapi aku tahu dia sebenarnya
menyukaiku” Doni tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku. “Hei! Kamu baru
saja di sakitin sama pacar kamu sendiri, sekarang kamu mau mendaftar untu jadi
korban Pak Toni?” Doni meninju bahuku dan aku membalasnya dengan tersenyum.
Doni baru terpikirkan apa yang dari tadi aku pikirkan, “Jangan bilang kamu akan
memanfaatkan Pak Toni untuk membalas dendam Si Dita? Aku sarankan buang
jauh-jauh rencanamu itu, aku tidak akan membantu kamu kalau kamu nanti terkena
masalah. Nilai Bahasa Inggrisku sudah cukup buruk aku tidak akan menambah buruk
nilaiku hanya karena terlibat denganmu!” Doni menggeleng-gelengkan kepala dan
mengacak-acak rambutku.
Akhirnya malam
hari pun tiba, aku berdandan rapih dan membuat Ibu keheranan. “Mau kemana lagi
anak Ibu? Gak belajar toh?” Ibu berusaha mencari tahu dengan gaya bahasa yang
halus, “Mau ada guru Tata, Bu” aku tersenyum sumringah. Ibu membalas tersenyum,
aku tahu senyum itu bertanda senyum lega. Tepat pukul 8.00 WIB malam Pak Toni
datang ke rumahku, dia pandai sekali mencuri perhatian Ibu dan membuat Ibu
tidak berkata ‘tidak’ saat Pak Toni meminta izin untuk mengajakku pergi ke
luar. Aku di jemput dengan mobil sedan silvernya, ini baru pertama kali aku
menaiki mobil seorang guru, dan kalau teman di sekolah tahu aku sedang dengan
Pak Toni, aku tidak tahu reaksi apa yang akan mereka berikan kepadaku. “Pak,
aku boleh foto selfie dengan Bapak
gak?” aku merayunya dengan memasang muka imutku. Butuh waktu sangat lama untuk
membujuknya, tapi akhirnya dia bersedia juga aku ajak foto selfie, walaupun dia sedang fokus menyetir dan tidak senyum sedikit
pun. “Pelit banget sih senyum sedikit aja” aku menyimpan foto dua kali jepretan
itu.
Sampailah
sudah di tempat yang Pak Toni tuju, aku sih belum pernah ke tempat ini dan
ternyata Pak Toni bisa juga memilih tempat yang romantis, padahal kan caffe biasa juga tidak apa-apa. “Pak,
gak salah pilih tempat, kan? Nanti dikira orang kita pacaran loh” aku meninju
bahunya. Pak Toni melirikku sinis karena aku mungkin so akrab, tapi setelah itu
dia langsung tersenyum lagi. Dia memang bisa membuatku jantungan, awas saja
kalau berpengaruh terhadap nilaiku. “Kamu tidak apa-apa?” Pak Toni bertanya,
“Apanya yang tidak apa-apa, Pak?” aku memutarkan bola mataku. “Hubungan kamu
dengan Dita?” dia membalas datar, sontak membuatku bingung dan banyak sekali
pertanyaan yang aku ingin tanyakan kepada dia, “Bapak lihat kamu kenalan dengan
dia waktu di perpus, dan setelah kejadian itu kalian memperlihatkan tingkah
aneh kalian di sekolah kalau berpapasan” Pak Toni menjawab semua pertanyaan
yang belum aku sampaikan. Aku berterus terang saja tentang masalah yang aku
hadapi sekarang ini, dan dia cukup menghiburku. Tidak tidak, aku tarik kata
cukupnya karena sebenarnya sangat menghiburku. Kami memutuskan untuk pergi
berjalan-jalan di sekitar tempat yang kami singgahi tadi, dan kejadian yang aku
tidak harapkan terjadi. Dita menelponku, menanyakan dimana keberadaanku, dia
sempat ke rumah sebelum menelponku. Dan butuh waktu 20 menit dia dengan cepat
mendatangiku, “Apa ini? Kok kamu bisa jalan dengan Pak toni?” Dita langsung
meluapkan kekesalannya, Pak Toni hanya bisa diam karena aku melarangnya untuk
tidak ikut campur.
Karena Pak Toni
tidak tahan melihat aku di pojokkan oleh Dita, akhirnya dia angkat suara. Mana
mungkin dia tidak ikut campur sedangkan dia memang sekarang sudah ada dalam
cerita aku dan Dita. “Bapak mau mengelak kalau Bapak tidak ada hubungan apa-apa
dengan Lita?” Dita tidak sadar dengan siapa dia bicara. “Tolong jangan salahkan
Mas Toni” aku mengalihkan kekesalan Dita. “Kamu gak tahu, kemarin aku
membuntuti kamu sedang jalan dengan Siska, mantan kamu. Dan kamu balikan lagi
dengan dia ketika kamu masih menjadi pacarku? Kamu tidak gila, kan? Kamu sudah
menutupi hal ini 4 bulan lamanya? Aku tahu semuanya. Jadi apa yang sekarang aku
lakukan ini salah di mata kamu? Kamu tidak terima? Sedangkan aku dengan Mas
Toni hanya jalan saja tidak ada hubungan spesial antara kami. Lalu apa yang
kamu perbuat selama 4 bulan terakhir ini akan aku maafkan dengan mudah?” aku
tidak butuh jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku dan aku langsung menyeret
tangan Pak Toni pergi meninggalkan Dita.
“Kalau ini
mobilku, aku mungkin membanting pintunya. Untung saja ini mobil Bapak” aku
mencoba mencairkan suasana, “Tapi..” Pak Toni berhenti bicara dan membalikkan
tubuhnya ke arahku. “Kamu tadi yakin memanggilku ‘Mas’? dan sekarang kembali
lagi ‘Bapak’ keterlaluan sekali kamu, membuat orang merasakan terbang tinggi
dan jatuh tersungkur sekaligus” Pak Toni memangkasnya dengan tersenyum heran. Oh My God, apakah aku melakukan itu?
Mampus deh bagaimana nasibku sekarang ini, apakah Pak Toni akan mengantarku
pulang ke rumah dengan selamat? Atau akan menurunkanku sekarang juga? Aku
benar-benar mengutuk diriku sekarang. “Woles
aja kali, Mas gak keberatan kok” Pak Toni tersenyum merayuku yang sebenarnya dia
sedang mengejekku. “Kamu besok harus sekolah ya! Besok kan ada pelajaran Mas di
jam terakhir”. Tuh kan sudah jatuh ketiban tangga pula, Ibu tolong anakmu ini.
“Makasih Nak
Toni sudah mengantar pulang anak Ibu dengan selamat” Ibu sangat bahagia sekali
terlihat dari raut mukanya. Aku yang sibuk memikirkan nasibku besok
menerka-nerka apa yang akan terjadi besok. “Hei! Ini benar-benar akan jadi trending topic di sekolah. Apa aku yang
harus menyebarkan gosip ini?” Doni mengejutkanku, dia dari tadi berada di ruang
keluarga dan aku melewatinya karena tidak menyadari keberadaannya. Dia terus
bertanya banyak hal sampai mengikutiku masuk ke dalam kamar, “Hei! Ini sudah
malam. Cepat sana pergi! Pulang!” aku tidak tahan mendengar ocehan dia. “Doni
akan menginap satu malam disini. Ibu sudah suruh dia untuk tidur di kamar tamu.
Sekarang cepat pergi tidur, jangan ganggu terus adikmu Doni!” Ibuku refleks membungkam mulutnya. Kami berdua
langsung menatap Ibu, dan tentu saja Doni yang lebih banyak bertanya. “Kalian
sebenarnya kembar. Doni adalah kakak kembarmu Lita. Sekarang terjawab sudah,
kan? Kenapa Ibu tidak bisa menjauhkan kalian, dan kamu Lita, kamu sempat
bingung kenapa Ibu terus saja mengajak Doni kalau pergi ke Jakarta, kan? Ibu
rasa ini memang waktunya kalian mengetahui kebenarannya, kalian sudah beranjak
dewasa” Ibu meninggalkan kami yang masih belum bisa mempercayai hal ini.
Aku teringat
masa-masa kecil kami dulu. Pantas saja, kalau aku sakit pasti Doni juga ikut
sakit. “Ibu sedang lagi gak bercanda, kan?” aku bertanya kepada Doni, “Entah
apa yang kurasakan ini, aku mengetahui kalau aku punya kembaran tapi aku biasa
aja. Mungkin karena kita selalu berdekatan” Doni tidak menjawab pertanyaanku,
“Apakah aku harus mengumumkan hal ini di sekolah, Adikku?” Doni tersenyum
mendekapku, dia memang sangat aneh. Bukannya langsung menangis merangkul Ibu
seperti di acara sinetron, ini malah mengejekku, apakah benar dia kembaranku?
Sangat aneh sekali. Tapi ternyata Doni, yang sekarang resmi menjadi kembaranku
tidur bersama Ibu, dia ternyata punya sisi baiknya juga. Aku tersenyum dan
pelan-pelan menutup pintu kamar Ibu.
Kami bertiga
sarapan bersama sebagai seorang keluarga, benar-benar keluarga. Tapi ini bukan
pertama kalinya, Doni sering meminta sarapan ke rumah kami kalau Hari Minggu.
“Oh iya Adikku, kamu itu kan memang tipe yang pemilih, terus pilihan kamu kali
ini apakah Pak Toni benar-benar pilihanmu?” pertanyaan yang sempat ditunda oleh
Doni akhirnya terlontarkan sekarang. “Sekarang kita lagi di jalan, fokus saja
bawa motornya. Kamu gak mau kan adikmu ini terluka karena kesalahanmu?” aku
menepuk pundak Doni. Dia begitu menikmati memanggilku ‘Adik’ sedangkan aku
belum terbiasa memanggilnya dengan sebutan Kakak, lidahku terasa keluh. Maafkan
aku ya Doni. Kali ini aku memeluk tubuhnsebutan Kakak, lidahku terasa keluh.
Maafkan aku ya Doni. Kali ini aku memeluk tubuhnya. Sebenarnya aku menjadi pemilih
seperti itu karena Ibuku. Aku tidak mencari pasangan yang cocok dengan diriku
sendiri, tapi aku menjadi begitu pemilih karena aku mencari calon menantu buat
Ibu, calon menantu yang akan membuat hati Ibu senang. Walaupun belum tentu
hubunganku bisa berhasil sampai jenjang pernikahan, tapi setidaknya aku
berusaha yang terbaik untuk Ibuku.
“Kalian mesra
sekali? Pake peluk-peluk segala toh” Siti bertanya heran melihat Doni
memperlakukanku siang itu di kelas. “Kamu gak tahu ya?” Doni mencoba untuk
membuat Siti penasaran, “Aku gak kepo, maaf ya usaha kamu gagal!” Siti memukul
pundak Doni dan menyeretku ke luar kelas, tidak sengaja aku berpapasan di pintu
dengan Siska. “Kamu sudah putusin dia?” Siska tersenyum tipis, “Sudah! Itu yang
kamu harapkan, kan? Aku tidak bisa hidup bersama orang-orang yang munafik
seperti kamu” aku berhasil membuat dia kesal, siapa suruh melawan aku. Sejak
saat itu, aku benar-benar muak kalau melihat dia. “Lita! Kamu di panggil oleh
Pak Toni ke mejanya” kata Ketua Kelasku. Sekarang tinggal satu lagi masalah,
yaitu Pak Toni.
“Lama sekali
kamu datang ke sini, dan apakah perlu diantar oleh Doni?” kata Pak Toni, “Pak,
tunggu dulu. Mungkin karena Bapak termasuk orang yang masuk dalam kehidupan
kami...” Doni sengaja berhenti bicara, “Kehidupan kami? Maksud kalian apa?” Pak
Toni terlihat heran. Aku menyikut perut Doni, “Kami kembar, Pak” aku tidak
sabar dengan pembicaraan mereka. “Bapak jangan canggung ya sama saya” Doni
tersenyum dan meninggalkan kami berdua di ruang guru, guru lain sedang mengajar
semua.
Aku langsung
bertanya kenapa aku di panggil ke mejanya, tapi dia malah berputar-putar
membicarakan hal yang tidak jelas, “Pak, langsung saja. Aku tidak bisa
berlama-lama di sini” aku memperlihatkan wajah kesalku. “Cuma kamu yang bisa
terang-terangan memperlihatkan wajah kesal itu, Mas suka” dia menutupnya dengan
tersenyum. “Dia tadi memanggil dirinya untukku dengan ‘Mas’? tidak mungkin
sandiwara tadi malam berlanjut seperti ini. Untung saja dia tidak bisa masuk ke
kelas, dan sebagai hukumannya aku harus mengumumkan tugas ini” aku sibuk
berbicara sendiri. Tapi, aku sangat suka melihat dia tersenyum.
Seperti biasa
Doni mengantarku pulang, dia masih harus tinggal bersama Ibu angkatnya.
Baguslah aku tidak harus mendengar dia mengoceh sepanjang waktu di kamarku. Itulah
aku, Aku memang sangat kejam. Ibu menceritakan semuanya perihal Doni yang harus
diasuh oleh saudara Ibu, aku dulu saat baru lahir tidak bisa hidup normal
seperti Doni, aku tidak mengeluarkan tangisan pertamaku, dan kata nenekku kami harus
dipisahkan. Makanya Doni di rawat oleh saudara Ibu.
Terdengar ada
yang mengetuk pintu rumah dari luar, “Ibu buka pintu dulu ya” Ibu bergegas.
“Nak Toni?” Ibu terkejut. Aku yang mendengar nama itu langsung berlari ke arah
pintu dan ternyata benar, Pak Toni mengunjungi rumahku lagi. Tanpa basa-basi
aku bertanya maksud kedatangannya, dan pembicaraan ini sangat pribadi. “Ibu
bisa tinggalkan kami sebentar? mungkin dia canggung karena ada Ibu disini” aku
berbisik kepada Ibu, dan benar saja Pak Toni langsung berbicara tanpa gugup
seperti tadi. “Mas tahu semuanya dari Doni, dia memberi tahu Mas kalau kamu
menyukai Mas sejak Mas menegurmu untuk berbicara dalam Bahasa Inggris di
perpus”. Doni benar-benar sangat menjengkelkanku, aku tidak yakin dia
kembaranku sekarang, berani-beraninya dia memberi tahu rahasia itu.
“Kamu anak
pintar, dan pasti kamu juga tahu kalau Mas juga menyukaimu selama ini. Benar,
kan?”. Iya memang benar feeling aku
tidak pernah salah, dan aku bukan tipe cewek yang suka kegeeran seperti teman-teman
sekolah yang lain. “Mas ingin kamu tetap memanggil ‘Mas’. Kalau kamu tidak
berubah pikiran, Mas akan menjadikanmu sebagai pacar Mas”. Dia sekarang menjadi
orang pertama yang membuatku speechless. Aku tersenyum dan menganggukan
kepalaku, aku juga sangat menyukainya tapi aku terlalu malu untuk
memperlihatkan perasaanku yang sebenarnya itu. “Tapi ingat! Kamu harus
profesional kalau di sekolah, jangan panggil Mas!” dia membuatku tersenyum
lagi. “Siapa juga yang berani memanggil Mas di sekolah dengan sebutan ‘Mas’
itu” aku mengejeknya. Ternyata Ibu mendengar pembicaraan kami, dan tentu saja
ibu merestui hubungan kami. Sekarang guru itu menjadi seseorang dalam hidupku,
dan aku bangga mengenalkan kepada teman yang lain bahwa dia adalah Masku.
~ Tamat ~